Pages

Subscribe:

Ads 488x100px

PENDIDIKAN TANPA BATAS

Jumat, 18 November 2011

STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA

TRADISI DALAM KEHIDUPAN ORANG JAWA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia
Dosen Pengampu : Moh. Solehatul Mustofa

UNNES                                              











Disusun oleh :
Nama               : AHMAD NAJIHUL H
NIM                : 3401409054
Rombel            : 02



JURUSAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Keanekaragaman suku bangsa dengan latar belakang kebudayaan berbeda menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan merupakan manifestasi unsur ke-“bhinneka”-an. Pada kenyataannya penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku-bangsa, besar (mayoritas) maupun kecil (minoritas), yang membaur dengan bangsa-bangsa asing lainnya. Bangsa-bangsa asing yang pernah datang dan berada di Indonesia inilah yang membawa pengaruh tersendiri dalam kebudayaan Indonesia.Dipandang dari sudut sosio-budaya Indonesia adalah “bhinneka tunggal ika”. Bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan nusantara terdiri atas bermacam-macam sukubangsa dan ras yang berbeda-beda asal-usul dan keturunannya. Kebhinnekaan suku bangsa dan keanekaragaman sifat geografis nusantara mengakibatkan adanya beraneka ragam seni budaya, bahasa, adat istiadat, tata cara, kebiasaan, status sosial, serta agama yang tumbuh dan berkembang di bumi nusantara ini.
                Meskipun penduduk Indonesia bersifat “bhinneka”, namun dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan ke-“ika”-an berupa satu kesatuan yang tunggal. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang mempunyai banyak perbedaan dalam kebudayaan karena adanya berbagai suku bangsa dan golongan etnik. Secara keseluruhan corak kebudayaan di Indonesia dibedakan atas tiga bentuk kebudayaan, yaitu:
1. Kebudayaan Melayu
2. Kebudayaan Jawa
3. Kebudayaan non-Melayu dan non-Jawa
       Pengelompokan ke dalam tiga bentuk kebudayaan tersebut didasarkan pada perbedaan latar belakang kebudayaan, adat istiadat, ras, serta bahasa.

1.2      Perumusan Masalah
a.       Bagaimana tradisi bersih desa dalam kehidupan orang Jawa?
b.      Apakah ketupat juga sebagai karya dan ungkapan budaya di masyarakat Jawa?
c.       Bagaimana pandangan hidup orang samin yang ada pada masyarakat Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagian orang Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya sampai sekarang masih melaksanakan adat kebiasaan yang dinamakan Bersih Desa. Ada pula yang menamakan Mejemukan.
Tradisi Bersih Desa ini dilaksanakan satu kali dalam setahun, yaitu pada waktu penduduk tani selesai melaksanakan panen padi raya secara serentak. Bersih Desa atau Mejemukan oleh paa penduduk tani dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) sebagai penjaga keamanan para tani, sehingga mereka berhasil panen padi yang telah ditanamnya, disamping itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengabulkan panan hasil tanaman padi tersebut.
Kegiatan dalam rangka Bersih Desa
      Dalam acara adat Bersih Desa para tani mengadakan beberapa kegiatan:
1. Mengadakan penyimpanan padi secara rapi ke dalam suatu tempat yang aman, yang dinamakan lumbung padi. Lumbung tersebut selain diisi padi hasil panen, juga beberapa perlengkapan sesaji yang ditaruh di atas tumpukan padi di daam lumbung tersebut. Alat perlengkapan sesaji tersebut antara lain air putih dalam kendi yang terbuat dari tanah, ini mempunyai maksud selain untuk memberikan minuman kepada Dewi Sri pada suatu saat jika berkunjung, juga berarti membersihkan/keweningan agar seseorang berbuat bersih; daun keluwih, mengandung maksud biar petani tersebut setiap panen padi diberi kelebihan (luwih); daun sirih dimaksudkan untuk menyirih jika Dewi Sri berkunjung; dupa atau kemenyan, sebagai perlengkapan sesaji. Dengan sesajian tersebut para petani bermaksud selain menghargai dan menghormati Dewi Sri juga agar Dewi Sri (Dewi Padi) ini dalam menjaga keselamatan para petani terutama dalam pelaksanaan menanam padi, merawat dan memanen padi dapat berhasil dengan baik.
2. Kegiatan pembersihan. Biasanya dilakukan dengan membersihkan kuburan, halaman, masjid, jalan-jalan atau gang-gang yang jarang dilewati orang. Hal ini dimaksudkan agar keadaan kampung atau desa nampak bersih. Kegiatan pembersihan ini dilakukan secara bersama-sama dengan gotongroyong/kerja bakti.
3. Mengadakan acara masak-memasak dan saling kunjung mengunjungi. Dalam acara ini dilaksanakan apa yang disebut “Munjung” (pemberian dari yang muda ke yang tua) dan “Weweh” yang (diberikan oleh yang tua kepada yang muda), atau kepada kerabat dan kenalan dekat dengan dasar kasih sayang.

4. Mengadakan kenduri bersama oleh seluruh warga desa, yang biasanya diadakan bersama-sama di suatu halaman masjid atau halaman/lapangan yang luas tertentu. Para penduduk membawa perlengkapan kenduri masing-masing berupa nasi dan lauk yang ditempatkan pada baskom atau penampan. Selanjutnya diadakan doa bersama yang dipimpin oleh seorang yang disebut “Modin”. Dalam acara ini diadakan pemberian nasi kepada fakir miskin dan para peminta-minta.
5. Mengadakan hiburan. Ini adalah puncak acara Bersih Desa/Mejemukan, biasanya dilaksanakan malam hari, antara lain mengadakan pergelaran wayang kulit, ketoprak dan uyon-uyon. Semua ini untuk memberikan hiburan pada masyarakat agar para penduduk gembira setelah kerja membanting tulang di sawah. Ini juga sebagai tanda telah menikmati keberhasilan para tani dalam menggarap sawah.
Makna Bersih Desa
       Dengan mengamati berbagai kegiatan yang ada pada acara adat Bersih Desa/Majemukan tersebut kiranya dapat kita ambil maknanya:
  • Adanya rasa takwa dan hormat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini dapat dilihat adanya kegiatan doa bersama dalam kenduri yang dilakukan di halaman masjid atau lapangan secara bersama dan juga adanya sesaji yang dimanifestasikan Dewi Sri sebagai dewa penolong terhadap keberhasilan para petani.
  • Adanya perilaku rasa penghormatan terhadap orang yang lebih tua atau yang lebih dulu ada. Ini memberikan suatu tauladan bahwa yang muda sudah sewajarnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Bagaimanapun orang yang lebih tua itu sebagai panutan.
  • Adanya rasa kebersamaan persatuan, gotong-royong berarti menghilangkan individualisme dan egoistis. Ini dapat kita lihat dalam kerja sama dalam melaksanakan keberhasilan kenduri bersama.
  • Adanya sikap perilaku kemanusiaan ini bisa kita lihat dengan cara membagi sedekah/makanan kepada fakir miskin/peminta-minta waktu kenduri bersama.
  • Mengajarkan tentang kesehatan, kebersihan dan keindahan yang bisa kita lihat adanya pelaksanaan kebersihan kuburan, jalan-jalan sepi dan lain-lain, sehingga akan membuat keindahan di samping kesehatan.
  • Mengajarkan tentang kehidupan yang teratur, penghematan dan pemanfaatan. Penyimpangan hasil panen padi ke dalam lumbung dengan maksud agar para petani tidak mengalami kekurangan, sehingga akan tercapai pengaturan ekonomi yang baik.
Dengan adat Bersih Desa/Mejemukan yang merupakan warisan adat istiadat sebagian bangsa Indonesia ini seyogyanya dipertahankan dan dilestarikan agar jangan musnah. Hal ini perlu diketahui oleh generasi muda sebagai generasi penerus bangsa yang perlu menjiwai nilai-nilai luhur bangsa yang berdasar Pancasila.

 

Ketupat Sebagai Karya dan Ungkapan Budaya

Masyarakat Jawa tentu mengenal jenis makanan yang disebut ketupat, yang dalam bahasa Jawa disebut kupat. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa (janur) berbentuk kantong kemudian ditanak dan dimakan sebagai pengganti nasi. Ketupat ini dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Dijajakan di pinggir-pinggir jalan, di pasar dengan sayurnya dan dikenal dengan sebutan ketupat sayur. Kenyataannya ketupat sayur ini banyak digemari. Biasanya untuk sarapan pagi.

            Untuk membuat ketupat, terutama anyamannya, diperlukan daya kreatif tersendiri agar dapat menghasilkan kantong-kantong anyaman jamur yang memiliki nilai seni. Memang tidak semua orang dapat membuat ketupat dan untuk dapat membuat perlu belajar menganyamnya. Dilihat dari segi bentuknya ketupat mempunyai nilai seni. Dengan demikian ketupat menjadi karya seni budaya seorang. Apabila dilihat dari maknanya ketupat merupakan ungkapan budaya yang mengandung falsafah hidup yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai dasar dalam bersikap dan bertindak

Nama dan Bentuk Ketupat
Sebagaimana telah disebutkan bahwa untuk dapat menghasilkan kantong-kantong anyaman janur, seseorang perlu belajar dan mengetahui cara membuatnya. Dari kreatifitas seseorang menganyam janur untuk dibuat kantong ketupat, dapat diketahui nama-nama katupat antara lain: ketupat sinta, ketupat jago, ketupat luwar, ketupat sido lungguh, ketupat bawang, ketupat khodok, ketupat bata dan sebagainya. Kurang jelas asal-usul nama ketupat tersebut, tetapi diperkirakan nama-nama tersebut erat kaitannya dengan bentuk ketupat.
Sebagai contoh: ketupat bata bentuknya persegi empat seperti bentuk bata merah; ketupat bawang bentuknya seperti bawang dan sebagainya.
Diperkirakan pula nama tersebut erat hubungannya dengan maknanya.
Sebagai contaoh: ketupat luwar sebagai simbol tercapainya harapan dan karenanya bentuk ketupat luwar sangat sederhana dan mudah dilepas. Di sini diberikan makna lepasnya/tercapainya apa yang dicita-citakan.
Perlu diketahui pula bahwa untuk membuat bentuk-bentuk ketupat diperlukan jumlah janur yang berbeda. Untuk membuat ketupat bawang diperlukan dua helai janur, ketupat luwar dua helai janur, ketupat jago delapan helai janur, ketupat sinta empat helai janur dan sebagainya.

            Untuk mengetahui lebih dalam mengenai nama dan bentuk ketupat memang perlu waktu dan pendalaman tersendiri. Pendalaman tentang ketupat perlu dilanjutkan dan dikembangkan sebagai karya seni menganyam janur.

Makna Ketupat
Ketupat sebagai karya budaya dikaitkan dengan suatu hasil dengan beraneka macam bentuk. Sedang ketupat sebagai ungkapan budaya adalah merupakan simbol yang di dalamnya terkandung manka dan pesan tentang kebaikan. Sebagai ungkapan budaya, ketupat antara lain memberikan makna dan pesan:
1. Ketupat terdiri dari beras/nasi yang dibungkus daun kelapa muda dan janur (bahasa Jawa). Beras/nasi adalah simbol nafsu dunia. Sedangkan Janur yang dalam budaya Jawa Jarwa dhosok adalah “Jatining nur” (sejatinya nur), yaitu hati nurani. Jadi ketupat dimaksudkan sebagai lambang nafsu dan hati nurani, yang artinya agar nafsu dunia dapat ditutupi oleh hati nurani.

            Pesan yang terkandung di dalamnya adalah agar seseorang dapat mengendalikan diri, yaitu menutupi nafsu-nafsunya dengan hati nurani (dilambangkan nasi bungkus dengan janur). Sebagaimana disadari bahwa di dalam diri manusia terdapat nafsu-nafsu buruk yang dapat mempermainkan manusia itu sendiri.
Di samping itu Tuhan memberikan kepada manusia hati nurani, yaitu suara hati nurani/suara kecil yang memberikan kepada manusia peringatan-peringatan apabila akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari garis keutamaan. Oleh karena itu hati nurani merupakan kunci kewaspadaan manusia terhadap perilakunya sehari-hari di dunia ini, hati nurani sebagai alat kendali nafsu-nafsu manusia.
Dalam hubungan ini apabila manusia tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsu dunianya, maka seseorang akan menampakkan sifat ego dan tindak yang dilakukannya mencerminkan nafsu angkara. Ini berarti cahaya Tuhan berkurang di dalam menyinari hati manusia. Seharusnya seseorang mampu memerangi nafsu angkaranya sehingga tercapai pengendalian diri yang serasi.
Demikian makna yang terkandung dalam ketupat, yaitu memberikan pesan agar seseorang mampu mengendalikan diri dari nafsu-nafsu buruknya.
2. Ketupat yang dalam bahasa Sunda juga disebut kupat, dimaksudkan agar seseorang jangan suka ngupat, yaitu membicarakan hal-hal buruk pada orang lain karena akan membangkitkan amarah.
Dengan lambang ketupat ini dipesankan agar seseorang dapat menghindarkan diri dari tindak ngupat tersebut.
3. Ketupat, kupat dalam budaya Jawa sebagai “Jarwa dhosok” juga berarti “ngaku lepat”. Dalam hal ini terkandung pesan agar seseorang segera mengakui kesalahannya apabila berbuat salah.
Tindakan “ngaku lepat” ini telah menjadi kebiasaan atau tradisi pada tanggal satu Syawal, yaitu setelah melaksanakan ibadah puasa dengan menyediakan hidangan ketupat berikut lauk pauknya di rumah-rumah, sehingga disebut dengan ketupat lebaran. Semua ini sebagai simbol pengakuan dosa baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun terhadap sesama manusia.
4. Seiring dengan makna di atas dan erat sekali hubungannya dengan tanggal satu syawal, kupat adalah “jarwo dhosok” dari “laku papat” (empat tindakan). Budaya menyediakan hindangan ketupat pada tanggal satu syawal terkandung pesan agar seseorang melakukan tindakan yang empat tersebut, yaitu: lebaran, luberan, leburan dan laburan.
Lebaran, dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan bahwa satu syawal adalah tanda selesainya menjalani puasa, maka satu syawal biasa disebut dengan Lebaran. Di hari Lebaran itu diharuskan untuk makan, tidak puasa lagi, puasanya sudah selesai.
Luberan, terkandung arti melimpah ibarat air dalam tempayan, isinya melimpah sehingga tumpah ke bawah. Ini simbol yang memberikan pesan untuk memberikan sebagian hartanya kepada fakir miskin, yaitu sadaqoh dengan ikhlas seperti tumpahnya/lubernya air dari tempayan tersebut.
Leburan, seiring dengan pengertian ngaku “lepat”, yaitu saling mengaku berasal dan saling meminta maaf dalam budaya Jawa pelaksanaan Leburan dalam satu syawal nampak pada ucapan dari seseorang yang lebih rendah status sosialnya kepada seseorang yang lebih tinggi status sosialnya atau dari anak kepada orang tua, yaitu ucapan “Mugi segeda lebur ing dinten menika”. Maksudnya bahwa semua kesalahan dapat lepas dan dimaafkan pada hari tersebut.
Laburan. Labur (kapur) adalah bahan untuk memutihkan dinding. Dalam hal ini sebagai simbol yang memberikan pesan untuk senantiasa menjaga kebersihan diri lahir dan batin. Jadi setelah melaksanakan leburan (saling maaf memaafkan) dipesankan untuk menjaga sikap dan tindak yang baik, sehingga dapat mencerminkan budi pekerti yang baik pula.

Demikian makna yang terkandung dalam ketupat yang dihidangkan yang makan dapat ingat akan makna dan pesan yang ada dan dapat melaksanakan pesan tersebut dalam wujud sikap dan tindak sebagai pengamalan budi luhur khususnya pada satu syawal dan dalam kehidupan sehari-hari.

5. Ketupat pada saat tertentu digunakan sebagai pelengkap sesaji dalam upacara daur hidup, yaitu untuk pelengkap sesaji selamatan empat bulan orang mengandung. Adapun jenis ketupat yang digunakan adalah ketupat jago, ketupat sinta, ketupat sido lungguh dan ketupat luwar. Belum ditemukan sumber yang mengungkap makna yang ada di dalamnya dan kiranya perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut. Dalam upaya memberikan suatu yang baik, maka ketupat sebagai pelengkap sesaji selamatan empat bulan kehamilan diberikan makna sebagai berikut:
- Empat jenis ketupat digunakan, diperkirakan ada hubungannya dengan masa kehamilan empat bulan.
- Ketupat jago, dikandung maksud agar kelak jabang bayi yang akan lahir apabila leki-leki diharapkan dapat menjadi jago, yaitu mempunyai watak kesatriya dan mempunyai kedudukan yang tinggi.
- Ketupat sinta. Sinta adalah simbol wanita cantik dan berburi luhur. Dalam hubungan ini diharapkan apabila anak yang akan lahir adalah wanita, memiliki paras yang cantik dan berbudi luhur.
- Ketupat sido lungguh. Ada keyakinan bahwa pada kehamilan empat bulan Tuhan Yang Maha Esa meniupkan roh pada si jabang bayi, dengan demikian dalam kehamilan empat bulan jabang bayi yang di dalam kandungan menjadi sempurna lahir batin, dalam arti sebagai manusia kecil yang telah diberi unsur jiwa dan raga. Demikian pula jabang bayi yang diberikan kedudukan (sido lungguh) sebagai manusia kecil.
- Ketupat luwar. Ketupat luwar diberikan arti lepas atau keluar. Simbol ini memberikan pesan agar kelak jabang bayi dapat lahir dengan mudah dan selamat. Juga simbol ini memberikan pesan “ngeluwari ujar”, yaitu lepasnya suatu harapan. Dalam hubungan dengan kehamilan berarti tercapainya harapan orang tua yang menginginkan anak melalui proses kehamilan.Dalam hal lain ketupat luwar digunakan sebagai sarana upacara yang terkandung maksud telah tercapainya suatu yang diinginkan.
Sudah banyak tulisan tentang masyarakat Samin, bahkan ada yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dari zaman kolonial Belanda hingga saat ini. Beberapa informasi mengatakan bahwa Saminisme sebagai sebuah sejarah perlawanan terhadap kekuasaan telah diubah menjadi deskripsi kebudayaan.

Jujur dan pemurah
        Sejak dikenal umum dari zaman kolonial Belanda, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-pencar, misalnya tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu.
Orang Samin memiliki rasa religi yang kuat sehingga seringkali membuat para pendatang (tamu) merasa risi dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap para tamu. Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan berapa harganya.
Masyarakat Samin memiliki jiwa yang polos dan terbuka. Mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi dan bercampur bahasa Jawa ngoko dan sering kedengaran kasar.
Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin, orang Samin selalu beranjak pada eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu Ono Niro mergo ningsun, ono ningsun mergo niro. (Adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya). Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri).
Semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik, begitulah ringkasnya. Bagi orang lain yang tidak memahami eksistensi orang Samin, mereka bisa jadi menyebutnya sebagai Wong Sikep, yang artinya orang yang selalu waspada. Atau disebut juga Wong Kalang karena orang lain akan menganggap ketidakrasionalan pikiran, keeksentrikan perilaku, dan ketidaknormalan bahasa. Tetapi, bagi sesama orang Samin selalu menyebut kepada orang lain Sedulur Tuwo.
Ini pun tampak di dalam ia merenung dan berdoa kepada “adam”, selalu minta keselamatan untuk dirinya, sesama makhluk alam semesta, dan juga Sang Pencipta sendiri. Ungkapan Sedulur Tuwo tak pernah ditinggalkan. Doa orang Samin juga selalu berhubungan dengan keadaan ekologi dan ekosostem di mana mereka berdomisili. Orang Samin yang tinggal di daerah DesaKlopo Duwur, Kecamatan Randu Blatung, Kabupaten Blora, misalnya, menunjukkan secara siklus hubungan antarmanusia sebagai pribadi, antarsesama manusia, antara manusia dan alam lingkungan. Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat dijumpai dalam ucapannya, seperti: Banyu podo ngombe/Lemah podo duwe/Godong pdod gawe. (Air sama-sama diminum/Tanah sama-sama punya/Daun sama-sama Memanfaatkan).
Ucapan itu oleh pengikut Samin ditafsirkan secara bijak, maksudnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu juga dijaga. Tidak berarti sama rasa, sama rata, seperti tuduhan orang lain di luar komunitas Samin. Dalam praktinya, mereka justru ikut menjaga pelestarian kayu jati di daerah Blora. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan masak-memasak. Hal itu sudah berjalan sejak leluhur mereka masa lalu dan mereka tidak mau merusak hutan. Berdasarkan pandangan seperti itu, tampaknya orang lain sering kali menerjemahkan kata “Samian” sama dengan Sami-sami Amin.
Sejak masa colonial
Pada mulanya ajaran orang Samin ini berasal dari seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tiak mau ikut kerja paksa.
Seperti tokoh perintis kemerdekaan Indonesia yang lain, ia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat tahun 1914. Namun, ajarannya masih dianut oleh pengikutnya hingga sekarang di beberapa daerah yang disebutkan di atas. Beberapa catatan kolonial Belanda menyebut bahwa Kiai Samian Surosentiko dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, selalu melawan pemerintah. Oleh karena itu, ajarannya tidak boleh disebarluaskan dan oleh mainstream agama pada saat itu dianggap sesat, lalu mau tidak mau ia harus diasingkan dari pengikutnya.
Dalam kaitannya dengan deskripsi singkat ini, maka nilai tradisi yang dapat dipetik adalah bagaimana strategi ajaran orang Samin dalam mengimplementasikan kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka antikekerasan, jujur, terbuka, dan tidak mau menyakiti orang lain.

Orang Samin mengejawantahkan kehidupan dengan solidaritas sosial. Juga pada zaman Orde Baru, ketika mereka menggunakan kiat atau strategi ngumumi; tidak melawan pemerintah, tetapi mengkritisi secara pasif. Mereka memang tidak mau kut program KB karena sudah punya cara sendiri. Mereka juga tidak ikut program Bimas-Inmas dan tidak mau terima kredit dari BRI supaya tidak ngemplang. Orang Samin bikin pupuk sendiri, bikin irigasi sendiri.
Pendeknya, dalam hidup, mereka tidak bergantung kepada teknologi maju, orang Samin benar-benar sebuah contoh kasus komunitas yang benar-benar memiliki kemandirian. Oleh karena itu, masyarakat Samin tidak mengenal krisis ekonomi dan moneter.





















BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
      Tradisi Bersih Desa ini dilaksanakan pada waktu penduduk tani selesai melaksanakan panen padi raya secara serentak. Bersih Desa atau Mejemukan oleh paa penduduk tani dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) sebagai penjaga keamanan para tani, sehingga mereka berhasil panen padi yang telah ditanamnya, disamping itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengabulkan panan hasil tanaman padi tersebut.
Masyarakat Jawa tentu mengenal jenis makanan yang disebut ketupat, yang dalam bahasa Jawa disebut kupat. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa (janur) berbentuk kantong kemudian ditanak dan dimakan sebagai pengganti nasi. Ketupat ini dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Dilihat dari segi bentuknya ketupat mempunyai nilai seni. Dengan demikian ketupat menjadi karya seni budaya seorang. Apabila dilihat dari maknanya ketupat merupakan ungkapan budaya yang mengandung falsafah hidup yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai dasar dalam bersikap dan bertindak
3.2    Saran
1.      Jika kita lihat kenyataan dalam perkembangan zaman teknologi yang berpangkal pada kehidupan modern, maka adat istiadat bangsa Indonesia ini akan menghadapi tantangan berupa pergeseran nilai. Tidak mustahil pergeseran nilai dapat mendangkalkan adat istiadat leluhur, terlebih pada generasi muda yang masih belum kuat dan belum mampu mengantisipasi kedatangan budaya asing yang serba modern yang mendasarkan pada kemampuan teknologi dan melupakan sumber nilai-nilai luhur yang mengakar pada adat istiadat kebudayaan bangsa kita. Kalau pergeseran nilai dibiarkan berlarut-larut, maka tidak mustahil adat Bersih Desa atau Mejemukan akan dilupakan dan bahkan tidak dikenal oleh generasi muda dan akhirnya akan hilang sama sekali. Kalau hal itu terjadi sangat disayangkan.

2.      Dari uraian yang sangat terbatas tentang ketupat tersebut dapat diketahui sekaligus memberikan gambaran bahwa perlu adanya pengembangan lebih lanjut tentang ketupat, baik sebagai karya budaya yang dapat menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai seni, maupun sebagai ungkapan budaya yang merupakan simbol yang memiliki makna dan pesan baik.

Demikianlah ketupat perlu dimasyarakatkan dalam rangka menambah wawasan khasanah budaya bangsa.






















DAFTAR PUSTAKA

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Depdikbud

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar