Pages

Subscribe:

Ads 488x100px

PENDIDIKAN TANPA BATAS

Jumat, 18 November 2011

PENOLAKAN TERHADAP BHP

Depok (ANTARA News) - Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Tolak Badan Hukum Pendidikan (BHP) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyetujui uji materi (judicial review) UU No.9 Tahun 2009 tentang BHP.   "Kami tetap tidak setuju BHP diaplikasikan pada setiap institusi pendidikan sebab mengarah pada praktik komersialisasi pendidikan," kata anggota aliansi dan pengacara publik dari LBH Jakarta Alghifari Aqsa dalam Diskusi "Mengawal Judicial Review UU BHP" di Kampus UI Depok, Selasa.  Praktik komersialisasi pendidikan ini, kata dia, bisa berbahaya bagi rakyat kecil karena sebelum institusi pendidikan berstatus BHP, masyarakat miskin sudah mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan, apalagi setelah BHP diberlakukan.  Senada dengan Alghifari, anggota aliansi yang juga mahasiswa UI, Firza, mengatakan, apabila pengajuan uji materi itu ditolak, maka mereka akan melakukan perlawanan.   "Mungkin bentuk perlawanan ini bisa berupa merancang RUU tandingan yang bisa melawan privatisasi institusi pendidikan," ujar Firza.  Selain itu, aliansi tersebut sepakat menyatakan bahwa BHP adalah bentuk pengekangan demokrasi dalam pendidikan karena penyelenggaraan pendidikan tidak bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.   "BHP adalah bentuk `lepas tangan` pemerintah. Oleh karena itu, kami mengajak teman-teman yang hadir di sini untuk turut serta dalam aksi yang akan digelar di depan Gedung MK tanggal 18 Februari mendatang untuk mendesak MK menyetujui `judicial review` terhadap UU BHP," kata Ketua BEM UI yang juga anggota Aliansi tersebut, Imaduddin Abdullah, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.  Aliansi itu sebelumnya telah mengajukan uji materi ke MK dan dalam minggu keempat Februari 2010, kemungkinan MK kan memutuskan akan menerima atau menolak uji materi tersebut.   Menurut Imaduddin Abdullah, kemungkinan besar keputusan MK berkaitan dengan diterima atau tidaknya uji materi tersebut baru akan keluar minggu depan.   Namun, katanya, pihaknya tidak mengetahui tanggal pasti keluarnya keputusan MK tersebut.  Dalam diskusi itu, Dosen Fisip UI Jemi Irwansyah mengatakan, perjuangan untuk menghapuskan UU BHP bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.   Jemi Irwansyah menyebutkan, sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah membuktikan hal tersebut, bahwa mengubah sistem agar lebih pro rakyat kecil adalah hal yang sulit dilakukan.  "Sekarang ini pergerakan mahasiswa untuk menentang BHP akan sia-sia saja jika tidak mengingat sejarah tentang penyelenggaraan pendidikan. Kasus-kasus serupa BHP, pernah terjadi di masa lalu. Kita harus jeli melihatnya," pungkas Jemi Irwansyah.  Jemi Irwansyah pun mengingatkan audiens pada perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam menentang sistem yang diberlakukan saat itu. Pada zaman sekarang, dengan masalah yang hampir sama namun berbeda tantangan, Jemi mengajak para aktivis penentang BHP untk juga menghitung jumlah anak miskin di Indonesia lalu dibandingkan dengan kursi yang mungkin mereka bisa dapatkan di institusi pendidikan.  "Memang ada perarturan bahwa perguruan tinggi harus memberikan 20 persen kursi bagi orang-orang miskin. Nah, pertanyaannya berapa banyak orang miskin di Indonesia? Apakah persentase itu cukup untuk membuktikan bahwa institusi pendidikan menaruh perhatian pada rakyat miskin?" tutur Jemi.  Imaduddin pun menyetuhui perkataan Jemi Irwansyah. "Sejauh ini, sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, tidak ada pembangunan yang signifikan dalam dunia pendidikan. Sejak merdeka, tetap tidak ada pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia," ungkap Imaduddin.  Selain itu, hal yang tidak boleh dilupakan adalah masyarakat luas harus ikut serta dalam mendukung pencabutan UU BHP ini. Aliansi tersebut bertekad akan turun ke masyarakat untuk memberikan pengertian tentang ancaman yang mengintai di balik UU BHP.  (M-PPS/R009) COPYRIGHT © 2010 Ikuti berita terkini di handphone anda http://m.antaranews.com Oleh: Muhammad Surya “kadir” Sukarno (Sekjend SMI)  Pengesahan Undang-undang No.9 Tahun 2009 mengenai Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) adalah kebijakan pendidikan (education policy) di Indonesia yang mutakhir. Keputusan itu amat paradoks. Sebab, selain menyanggah amanat konstitusi, juga mengingkari realitas kehidupan rakyat saat ini. Keputusan DPR dan pengesahan Presiden  (baca: rezim anti rakyat) ini bukannya memberi angin segar, melainkan menghembuskan angin polusi kepada rakyat.  UU BHP bagian “Skenario Neoliberalisme Perkembangan dunia pendidikan nasional pada era perdagangan bebas perlu dipahami. Semua negara anggota WTO yang sudah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa antara lain: layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan serta jasa-jasa lainnya akan terus ditekan agar secepatnya melaksanakan kesepakatan berbagai macam konferensi dan perundingan tingkat tinggi.  Terjadinya liberalisasi pendidikan tidak terlepas dari pembentukan organisasi-organisasi regional, seperti EU, NAFTA, AFTA, GATT, PECC, dan APEC. Konsekuensi komitmen Indonesia dalam WTO, yang juga diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (kesepakatan WTO berkaitan dengan perdagangan barang dan jasa), AFAS (ASEAN Framework on Services) serta Deklarasi Bogor 1994/APEC dan agenda Aksi Osaka. Semua perundingan internasional itu sebagai produk pendukung liberalisasi pasar yang dikembangkan WTO.     Artinya Indonesia juga harus mengikatkan diri pada putaran-putaran lanjutan yang mendorong negara peserta untuk membuka pasar domestiknya secara lebih lebar dan lebih cepat supaya mudah diakses oleh pelaku industri dari negara lain, dan pada akhirnya menghapus semua hambatan perdagangan barang dan jasa. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO, secara otomatis semua hasil perjanjian yang berhubungan dengan perdagangan multilateral, diratifikasi menjadi UU No 7/1994 sebagai prasyarat lalu lintas perdagangan barang dan jasa dari Indonesia bisa bersaing dan diterima di pasar bebas.  Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Dari kondisi di atas, kita bisa melihat bersama begitu besarnya kepentingan para pemodal asing terhadap dunia pendidikan nasional baik secara langsung maupun tidak. Langsung, karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan di kemudian hari.        Pendidikan Nasional Menjadi Industri Jasa  Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), sebanyak 33,9 juta anak Indonesia dilanggar hak pendidikannya, 11 juta anak usia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah serta sisanya putus sekolah. Bila dirinci lagi ada 4.370.492 anak putus sekolah dasar dan 18.296.332 anak putus sekolah menengah pertama. Adapun 11 juta sisanya (lebih dari 30 persen) anak buta huruf karena tidak pernah bersekolah. Bahkan, hanya 70,85 persen masyarakat miskin di Indonesia mendapatkan akses pendidikan sampai pada jenjang pendidikan menengah saja, sementara kelompok kaya mencapai 94,58 persen (Susenas, 2004). Dari data kuantitatif yang sifatnya sekunder itu kita bisa melihat betapa rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia, jika ditotal dari semua penduduk yang menghuni di negeri ini. Sementara itu di lain pihak, hubungan antara industri pendidikan dengan dunia usaha lain kian harmonis saja.  Produsen-produsen teknologi informasi, piranti lunak komputer dan alat-alat elektronik, perusahaan-perusahaan media cetak (termasuk buku untuk bahan ajar) turut andil dalam membangun kapling di atas hubungan barang dagangan semata dari bagian integral sistem pendidikan nasional yang hakekatnya sudah diskriminatif karena tidak memihak rakyat kecil yang merupakan penghuni mayoritas negeri ini. Denyut nadi dunia pendidikan nasional saat ini semakin tidak stabil dengan rezim boneka Imperialis mengesahkan UU BHP, karena nilai-nilai yang berkembang dalam prakteknya nanti hanyalah berorientasi penumpukan modal dan pengembangan modal yang akan di pertahankan mati-matian di tengah iklim globalisasi yang berkembang tidak adil karena monopolistik atas pasar. Di situlah kita semua pada masa yang akan datang melihat dengan gamblang bahwa sesungguhnya wajah dunia pendidikan nasional di era globalisasi dengan pasar bebasnya meminggirkan nilai kemanusian yang hakiki.  ”Lex specialis” UU BHP  Sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang setara dengan UU Sisdiknas, maka UU BHP akan mengatur secara berbeda dengan UU Sisdiknas, dan perbedaan tersebut menjadi ketentuan yang khusus (lex specialis), yang harus didahulukan berlakunya dari ketentuan yang umum (lex generalis) sebagaimana termuat dalam UU Sisdiknas. Dalam hal ini berlaku “prinsip lex specialis derogat legi generalis” (ketentuan yang khusus didahulukan berlakunya daripada hukum yang umum). Pengesahan UU BHP dengan sendirinya menggeser posisi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sehingga dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebab, UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.  Kebijakan ini adalah proses liberalisasi - privatisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi kaum modal (nasional maupun asing) untuk menguasai saham hingga 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan (sekolah dan universitas) serta ketersediaan anggaran untuk gaji guru atau dosen berbasiskan kompetensi dan daya saing yang tinggi. Pada tahap ini pendidikan semakindianggap sebagai investasi sehingga pemerintah menjadikannya sektor terbuka bagi penanaman modal dan komoditas.  Judicial Review UU BHP “Jalan Setengah Hati”  Berbagai ormas, mahasiswa nasional, institusi pendidikan, lembaga eksekutif maupun legislatif mahasiswa, serta lembaga swadaya masyarakat, berbondong-bondong berjalan menuju gedung “Mahkamah Konstitusi (MK)” guna mengajukan Judicial Review terhadap UU Badan Hukum Pendidikan No. 9 Tahun 2009. Menurut mereka beberapa pasalnya bertentangan dengan konstitusi RI, yaitu UUD 1945, terutama akses rakyat Indonesia dalam mendapatkan pendidikan. UU BHP dinilai penuh dengan syarat liberalisasi dan privatisasi pendidikan di Indonesia. Harapannya, pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat segera dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.      Pasal – pasal yang dianggap bermasalah (syarat privatisasi & liberalisasi)  Dalam UU BHP No. 9 Tahun 2009  Bagian     Isi  Pembuka bagian menimbang poin b     “….menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator….”  Bagian Pembuka Menimbang poin a & c     penyelenggaraan pendidikan oleh satuan pendidikan sebagai pelayanan publik yang berprinsip nirlaba….”  Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 14     Komite Sekolah / Madrasah adalah lembaga mandiri di luar BHPDM….yang bertugas memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan sumber daya….”  Bab III bagian kedua Pasal 4 Ayat 8     “orang atau badan hukum asing dapat mendirikan BHPT melalui cara kerjasama dengan BHPT nasional…”  Bagian Keempat tentang Organ     tidak mencantumkan sama sekali keterwakilan mahasiswa dalam struktur kepemimpinan institusi pendidikan tinggi.  Bagian Kelima tentang Pendanaan dan Kekayaan  Pasal 7 Ayat 1     dana untuk operasi BHPT berasal dari masyarakat, hibah dari dalam dan/atau luar negeri, pendiri, dan hasil usaha BHPT…”  Ayat 5     pendanaan dari pemerintah dalam bentuk hibah.  Ayat 8 dan 9     pendanaan melalui subsidi silang yang ditentukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi.  Bagian 8 tentang Ketenagakerjaan  Pasal 22 Ayat 2     “pengangkatan, pemberhentian, status, jabatan, hak dan kewajiban karyawan BHPT diatur dalam perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.”  Bagian 8 Bab IV tentang BHPDM  Pasal 26 Ayat 25     “orang atau badan hukum asing dapat mendirikan Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) melalui kerjasama dengan BHPDM nasional…”  Bagian keempat Bab IV tentang Organ     tidak mencantumkan keterlibatan siswa dan orangtua siswa dalam struktur kepemimpinan Institusi pendidikan dasar dan menengah  Bagian 5 tentang Pendanaan& kekayaan  Pasal 36 Ayat 1     : “dana untuk investasi awal; berasal dari masyarakat, hibah dari dalam dan/atau luar negeri, pendiri dan hasil usaha BHPDM…”  Ayat 5     pemerintah memeberikan bantuan dalam bentuk hibah. Ayat 8 : Pendanaan oleh masyarakat dengan pola subsidi silang  Bagian 8 Tentang Ketenagakerjaan  Pasal 43 Ayat 2     “pengangkatan, pemberhentian, status, jabatan, hak dan kewajiban karyawan BHPDM diatur dalam perjanjian kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”   Beranjak dari segala usaha rakyat Indonesia dalam mengekspresikan penolakannya terhadap pengesahan UU BHP, diperlukan beberapa kajian terkait dengan taktik yang digunakan. Mencermati Mahkamah Konstitusi sebagai taktik dalam menggelorakan perlawanan  terhadap pengesahan UU BHP hanya terbatas pada uraian dalam bentuk pasal-pasal. Bahwasanya secara filosofi, nilai yang terkandung dari lahirnya UU ini. sejatinya UU BHP adalah nyawa dari “kapitalisasi pendidikan di Indonesia”. Esensi yang terkandung di dalam UU BHP yaitu; hilangnya peran Negara dan prinsip penanaman modal dalam badan hukum pendidikan. Konsekuensi dari bentuk institusi seperti ini adalah kebebasan untuk mencari sumber dana. Apalagi pemerintah tidak membiayai sepenuhnya dan tidak pula menjamin secara utuh kesediaan biaya bagi operasional suatu institusi BHP untuk mendapatkan dana operasional (Pasal 41 ayat 1). Bahwa UU BHP tidak berdiri sendiri, namun juga dilengkapi dengan perangkat UU lainnya yaitu UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Perpres No.77 Tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Inilah salah satu esensi utama Badan Hukum Pendidikan, investor hanya akan menanamkan dananya pada sektor-sektor yang dapat memberikan keuntungan baginya. Oleh karena itu mereka membutuhkan lembaga yang auditable dan accountable. Kedua kriteria inilah yang ditawarkan oleh sebuah badan hukum. Karena itu pengubahan institusi pendidikan menjadi badan hukum adalah hal yang urgent untuk menarik investor. Kedua, Pembubaran BHP (Kepailitan BHP). Badan Hukum Pendidikan memiliki mekanisme pembubaran atau kepailitan selayaknya perusahaan. Hal tersebut diatur pada pasal 57, 58 dan 59 UU BHP. Khusus pada pasal 58 ayat 4 dikatakan bahwa “Apabila badan hukum bubar karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan”. Artinya, posisi BHP tidak berbeda dengan perusahaan. Pada perusahaan yang dinyatakan pailit pun berlaku undang-undang kepailitan.  Artinya perubahan pasal-pasal dalam UU BHP yang dihasilkan dalam proses judicial review di MK, hanyalah membenahi persoalan pendidikan nasional  pada sisi luar, melainkan belum menyentuh akar atau inti persoalan yang dihembuskan oleh semangat liberalisasi dan privatisasi pendidikan di Indonesia. Bahwa pada dasarnya filosofi dari UU BHP ini sangat kapitalistik.  Dengan demikian, kita bisa melihat dengan jelas, UU BHP adalah perangkat undang-undang yang akan memantapkan kapitalisasi di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Liberalisasi dalam BHP akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara tak lagi berfungsi sebagai pelayan. Kapitalisasi pendidikan, akan berimplikasi pada pendidikan yang akan lebih berorientasi pada pasar, berpegang pada hukum supply-demand, dan cenderung berburu rente (rent seeking). Sudah sepantasnya kelahiran UU BHP digugat dengan sepenuh hati-menolak dan mencabut UU BHP dengan persatuan gerakan massa yang besar, kuat, dan mandiri.          Purwokerto, 19/12 (Lifestyle.Roll) - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto menggelar unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).  Dalam unjuk rasa yang digelar di depan Kampus Unsoed Purwokerto, Jumat, mahasiswa menyatakan, UU BHP merupakan bentuk komersialisasi pendidikan.  Koordinator aksi, Khairurruzqo mengatakan, mahasiswa kecewa terhadap para wakil rakyat yang duduk di DPR, karena telah menyetujui pengesahan UU BHP.  "UU BHP telah banyak ditolak oleh berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia sehingga harus segera dicabut. Untuk itu, kami menolak penerapan UU BHP di kampus Unsoed dan mendesak pengajuan `judicial review` UU BHP ke Mahkamah Konstitusi," katanya.  Dalam aksi unjuk rasa tersebut, mahasiswa membawa berbagai poster yang berisi penolakan BHP antara lain tuntutan pengajuan "judicial review" UU BHP kepada MK.  Selain diisi orasi dan menyanyikan lagu-lagu, unjuk rasa tersebut diakhiri dengan pelemparan telur ke sejumlah tanda gambar partai politik yang mereka pasang pada sebuah papan yang mereka bawa.  Pelemparan tersebut sebagai simbol kekecewaan mahasiswa terhadap parpol yang mewakili rakyat di DPR.  Selain berunjuk rasa di depan Kampus Unsoed Purwokerto, sebagian mahasiswa melakukan "long march" menuju DPRD Kabupaten Banyumas.     UNDANG UNDANG  Oleh:SudPrayitno,S.H.,LL.M. [Penulis adalah Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Direktur Kantor Hukum Justitia (Justitia Law Office Padang)] PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) masih memicu kontroversi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, undang-undang ini dipandang dapat menjadi penaung spirit otonomi yang selama ini diinginkan oleh dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Namun di sisi lain, banyak pihak khawatir undang-undang ini justeru akan mendorong terjadinya praktek komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi. Pro dan kontra atas UU BHP yang sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat tersebut, tentu harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dan tidak justeru dilawan dengan tindakan atau sikap yang kurang bijak (misalnya dengan melakukan tindakan anarkhis atau menggunakan jurus masa bodoh pada protes sembari berucap “anjing menggonggong, kafilah berlalu”).  Tanpa bermaksud mencederai spirit otonomisasi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terkandung dalam UU BHP dan menisbikan kekhawatiran akan timbulnya komersialisasi-liberatif di tubuh lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi, tulisan ini mengajak semua pihak yang berkepentingan dengan persoalan ini untuk mencermati UU BHP dari perspektif yang lebih substantif dan asasi. Benarkah spirit otonomisasi dalam UU BHP ini dimaksudkan untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUD 1945 (sebagaimana dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf a) atau justeru mendelegitimasi (tidak mengakui) hak-hak konstitutional warga negara terutama kalangan tidak mampu (disadvantaged groups) dan terpinggirkan (marginalized groups) untuk mengenyam pendidikan yang dijamin dalam UUD 1945?. PERSPEKTIF HAM DAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL Tak dapat dipungkiri, lahirnya UU BHP pada satu sisi menjadi dasar hukum (legal basic) untuk mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, dengan tidak melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Undang-undang ini memberi jalan bagi perguruan tinggi untuk berimprovisasi secara kreatif dalam mencari alternatif sumber pembiayaan dan meningkatkan kualitas program akademik dengan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen. Namun di sisi lain, UU BHP berpotensi membuat perguruan tinggi menjadi sebuah badan usaha (corporate body) yang berorientasi pada proyek (project oriented) semata. Akibat perubahan paradigma ini, perguruan tinggi dikhawatirkan akan melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diembannya yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian karena peran hakiki perguruan tinggi adalah sebagai the center of knowledge inquiries and technology innovations (Amich Alhumami: 2009) Sejatinya, keberadaan UU BHP tidak hanya semata-mata ditautkan dengan persoalan hukum formal (legal formal) sebagai implementasi dari Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memerintahkan pembentukan undang-undang tentang badan hukum pendidikan, namun telah menyentuh isu yang sangat fundamental yaitu jaminan untuk mendapatkan pendidikan dan keadilan dalam mengakses layanan pendidikan. Kedua isu ini merupakan konsekuensi logis yang harus tercermin dalam pasal-pasal UU BHP mengingat Pasal 4 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar kelahiran undang-undang ini menetapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang menyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Jadi jelas, apa pun tujuan dan alasannya, pembentukan UU BHP harus bersandarkan pada nilai-nilai hak asasi manusia khususnya hak untuk diperlakukan secara adil dan hak atas pendidikan.  Secara formal, amanah Pasal 53 ayat (4) UU No. 20 Tahun 2003 untuk mengatur BHP dalam suatu undang-undang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dengan membentuk UU BHP, sehingga sulit kiranya bagi para oppositionists mengharapkan institusi pembentuk undang-undang itu mau dengan senang hati meninjau dan merevisi UU BHP yang telah disetujui dan disahkan. Namun begitu, secara substansial masih perlu diuji apakah muatan-muatan pasal dalam UU BHP ini makin memperkuat dan menegaskan tanggung jawab negara dalam menegakkan hak-hak asasi warga negara khususnya yang kurang mampu secara ekonomi untuk memperoleh pendidikan dan mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi dalam mengakses layanan pendidikan atau justeru sebaliknya. Yang jelas, sebagai pengejawantahan dari komitmen pemerintah terhadap hak asasi manusia yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain: UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), maka spirit pemajuan, penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional yang ada, harus tercermin pula dalam UUBHP.   Secara konstitutisional, negara telah menegaskan sejumlah hak yang dimiliki setiap orang sebagai hak asasi manusia yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakan, dan dipenuhi oleh negara, terutama pemerintah dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 Amandemen Keempat. Terkait dengan persoalan pendidikan, setidaknya ada 2 (dua) hak asasi manusia dalam UUD 1945 yang memiliki relevansi dengan UU BHP yaitu hak atas pendidikan meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, hak memilih pendidikan dan pengajaran, hak atas pendidikan dasar gratis, dan hak untuk mendapatkan jaminan negara atas anggaran pendidikan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.  PASAL-PASAL BERMASALAH UU BHP memuat 14 bab dan 69 pasal yang mengatur beberapa hal pokok, yaitu tujuan dan prinsip, tata kelola, kekayaan, pendanaan, akuntabilitas dan pengawasan, sanksi administratif dan sanksi pidana. Salah satu bagian yang sangat sensitif dan selalu menjadi sumber pertentangan adalah Bab VI tentang Pendanaan. Dilihat secara sepintas, UU BHP ini menunjukkan keberpihakan negara kepada golongan kurang mampu dan memungkinkan perguruan tinggi tumbuh secara professional. Sebut saja misalnya Pasal 40 ayat (4) yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.  Secara lebih spesifik UU BHP menjamin bahwa negara dan pemerintah daerah menanggung biaya pendidikan dasar bagi peserta didik (Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 44 ayat 1), membolehkan perguruan tinggi menjalankan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha untuk memenuhi pendanaan pendidikan (Pasal 43 ayat 1), dan diwajibkannya Badan Hukum Pendidikan untuk menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru (Pasal 46 ayat 1). Namun bila ditelaah lebih dalam, ada dua pasal gawat (crucial) dalam UU BHP karena bertentangan dengan UUD 1945 sehingga mengancam konstitusionalitas undang-undang tersebut, yaitu Pasal 41 jo Pasal 44 dan Pasal 46. Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa biaya pendidikan dasar ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pertanyaan mendasar yang tak bisa dijawab oleh kedua pasal ini adalah sejauh mana UU BHP dapat menjamin peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar terbebas dari biaya-biaya atau pungutan-pungutan lain sekecil apa pun yang dikenakan pihak BHP, karena baik kedua pasal ini maupun pasal-pasal lain tidak memuat ketentuan larangan berikut sanksinya kepada BHP atau pihak mana pun yang memungut biaya-biaya tertentu kepada peserta didik.  Biaya pendidikan dasar gratis yang diatur dalam ketentuan ini dengan sendirinya tidak menjamin peserta didik akan terbebas dari biaya-biaya lain yang sangat mungkin diberlakukan oleh BHP mengingat ketentuan Pasal 43 membolehkan BHP menjalankan kegiatan usaha, yang pada akhirnya peserta didik tidak dapat mengenyam pendidikan dasar secara gratis padahal negara berkewajiban untuk menanggungnya. Dengan lain perkataan, UU BHP telah dengan sengaja memberikan peluang terjadinya pelanggaran atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar gratis yang dijamin dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.  Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Penetapan quota minimal 20% dalam pasal ini, disamping membelenggu BHP untuk tetap menjaring dan menerima WNI paling sedikit 20% sekalipun jumlah WNI yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu mungkin lebih atau tidak mencapai 20%, juga berpotensi menimbulkan pelanggaran UU oleh BHP apabila tidak berhasil memenuhi quota tersebut. Anak kalimat “memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu” membatasi hak WNI yang kurang mampu secara ekonomi tapi tidak memiliki potensi akademik tinggi untuk diterima di BHP, karena rumusan ayat dengan anak kalimat tersebut secara tegas menetapkan 2 (dua) syarat sekaligus (kumulatif) untuk dapat dijaring dan diterima di BHP yaitu berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi.  Rumusan pasal ini disamping kontradiktif dengan prinsip “akses yang berkeadilan” yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU BHP, juga melanggar Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”, karena hanya memberi kesempatan kepada calon peserta didik yang kurang mampu dan memiliki potensi akademik tinggi untuk dijaring dan diterima sebagai peserta didik tapi tidak bagi calon peserta didik yang kurang mampu tapi tidak memiliki potensi akademik tinggi. Lebih jauh, pasal ini juga melabrak Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, karena membatasi hak setiap WNI khususnya yang kurang mampu tapi tidak memiliki potensi akademik untuk mendapatkan pendidikan   Untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadao UUD 1945, seharusnya Pasal 46 ayat (1) ini diubah dengan kalimat yang lebih sederhana sehingga berbunyi, “Badan Hukum Pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi” LEGISLATIVE REVIEW UU BHP akan tetap mengundang kontroversi dan gelombang penolakan, apabila sisi-sisi negatif yang terdapat di dalam beberapa pasal khususnya yang melanggar Konstitusi tidak segera direvisi, karena pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik haruslah berdasarkan pada asas “dapat dilaksanakan”, “kedayagunaan dan kehasilgunaan”, dan “kejelasan rumusan” dengan materi-materi pasal yang sesuai dengan asas “pengayoman” dan “kemanusiaan” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta penjelasannya. Bahwa yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Adanya kesadaran khususnya dari pemerintah bahwa UU BHP ini memiliki sisi lemah yang dapat berubah menjadi pisau bermata dua, mestinya dijadikan pertimbangan untuk mereview UU BHP melalui legislative review (pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan oleh pemerintah dan DPR), tidak justeru menantang kalangan oppositionist untuk mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Agaknya jauh lebih bijaksana bila pemerintah menempuh langkah-langkah antisipatif terhadap UU BHP, daripada harus menghadapi gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi yang pada akhirnya menyatakan UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 (in-constitutional)!. Sumber : menyoal konstitusionalitas uu bhp       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar