Pages

Subscribe:

Ads 488x100px

PENDIDIKAN TANPA BATAS

Jumat, 25 November 2011

sosiologi pendidikan



 VISI MISI DALAM PROSES PENDIDIKAN di SMA MASEHI 2 PSAK SEMARANG


Diajukan untuk mmemenuhi tugas Sosiolohi Pendidikan
Dosen Pengampu : Pak Fajar
             
                                


Disusun oleh :
Nama               : Ahmad Najihul Himam
NIM                 : 3401409054    
Rombel             : 02

Pend. Sosiologi dan Antropologi
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011



PENDAHULUAN

A.    latar belakang
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pribadi sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia dalam ukuran normatif. Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang berkembang. Sedangkan menurut Ary H.Gunawan berpendapat bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Oleh karenanya, pendidikan senyatanya harus mampu menjawab persoalan-persoalan yang berada di tengah masyarakat.

Dalam hal ini, guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Guru merupakan orangtua siswa dalam lingkungan sekolah. Maka peran guru begitu berarti dalam membentuk kepribadian para siswa diluar dari pengaruh lingkungan para siswa tersebut.

Salah satu yang telah dicanangkan oleh pemerintah adalah pendidikan berkarakter untuk semua jenjang pendidikan. Oleh karena itu, guru merupakan agen yang berperan penting dalam menanamkan pendidikan berkarakter di sekolah. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh,  pembentukan berkarakter perlu dilakukan sejak dini. Jika karakter sudah terbentuk kata Mendiknas, maka tidak akan mudah mengubah karakter seseorang. 

Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.

Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator  utama keberhasilan pendidikan karakter. Namun, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Dengan  demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.

Maka, bukan tidak ada usaha bangsa Indonesia dalam mencapai pendidikan berkarakter. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),  belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu. Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!

Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN,  mungkin bagus. Tapi, di lapangan banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab itu tuntutan pejabat dan orangtua,  guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus.Akan tetapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu.Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.

Disinilah juga fungsi pendidikan karakter yaitu supaya dapat membenahi moral para penerus bangsa ini. Mungkin kecerdasan memang penting akan tetapi lebih baik lagi apabila kecerdasan tersebut diiringi oleh moralitas yang baik. Pada dasarnya moralitas adalah suatu disiplin. Semua disiplin mempunyai tujuan ganda yaitu mengembangkan suatu keteraturan tertentu dalam tindak-tanduk manusia dan memberinya suatu sasaran tertentu yang sekaligus juga membatasi cakrawalanya.

Pendidikan melalui pengalaman langsung akan mempengaruhi unsur-unsur moral maupun intelektual dari kebudayaan. sesudah kita mengetahui unsure-unsur itu, apa realitas konkret yang diungkapkan oleh perasaan-perasaan moral kita, cara pelaksanaan pendidikan moral pun telah digariskan.

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah peran serta pendidikan yang dilaksanakan oleh SMA 2 MASEHI PSAK  ?
b.      Hambatan-hambatan apa yang dilalui dalam mencapai pendidikan berkarakter ?


C.     Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui penanaman pendidikan berkarakter di SMA 2 MASEHI PSAK ?
b.      Untuk mengetahui hambatan-hambatann dalam mencapai pendidikan berkarakter ?

D.    Manfaat Penelitian
a.       Praktis
Memperoleh wawasan pengetahuan yang lebih luas lagi tentang pendidikan karakter dalam pembentukan moral
b.      Teoritis
Dengan adanya penelitian ini secara tidak langsung bermanfaat untuk memberi masukkan pada pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah ini, yaitu:
a)      Bagi penulis
Mendapatkan pengetahuan mengenai penanaman pendidikan berkarakter dan pembentukan moral.
b)      Bagi guru
Dapat dijadikan wawasan dan wacana dalam mengembangkan kualitas dan kuantitas pendidikan.
c)      Bagi siswa
Mendapatkan pengetahuan tentang pendidikan berkarakter serta dapat menerapkannya sebagai upaya pembentukan moral.
d )  Bagi umum
                              Mendapatkan pengetahuan akan pentingnya pendidikan bagi anak.
LANDASAN TEORI
Kajian Pustaka
1.      Pengertian pendidikan
Arti pendidikan kita pahami dulu istilah ilmu pendidikan (paedaggiek) dan pendidik (paedagogie). Istilah di ats mempunyai makna berlainan. “ilmu pendidikan” mempunyai makan istilah “paedagogie”. Ilmu pendidikan lebih menitik beratkan kepada pemikiran kalau pendidikan lebih menekan dalam praktek yaitu menyangkut kegiatan belajar mengajar (KBM) (Ahmadi, Uhbiyati, 2001 :93).
Adapun pengertian pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuh kembangnya budi pekerti

METODE PENELITIAN
Dasar Penelitian
Dalam penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Dasar filosofis yang mendasari penelitian ini adalah fenomenologis yang kadang disebut juga Deskriptif  Phenomenology yaitu pembuktian yang bersifat deskriptif.
Pengumpulan data pada penelitan kualitatif berupa catatan dan  laporan. Penelitian fenomenologis diharuskan memberikan interpretasi terhadap gejala tersebut sesuai tujuan dari penulis yaitu mengetahui bagaimana penanaman pendidikan berkarakter di SMA MASEHI 2 SEMARANG.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di SMA MASEHI 2 PSAK yang berlokasi di  Jalan Gemah raya SEMARANG. Sekolah ini memang sekilas tidak terlihat langsung dari jalan raya. SMA MASEHI 2 PSAK SEMARANG ini wilayah padat penduduk dan masuk gang .
Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan karena peneliti tidak terlibat secara langsung dengan melakukan aktivitas orang yang diamati, tapi peneliti disini sebagai pengamat independent dengan mencatat, mengamati, selanjutnya membuat kesimpulan tentang perilaku siswa SMA MASEHI 2 PSAK SEMARANG.
E.     Pembahasan
Hingga kini boleh dikatakan, hubungan antara sekolah kita dan masyarakat masih sangat minim oleh sebab pendidikan sekolah dipandang terutama sebagai persiapan untuk kelanjutan pelajaran. Kurikulum sekolah kita bersifat akademis dan dapat dijalankan berdasarkan buku pelajaran tanpa menggunakan sumber – sumber masyarakat. Setelah kita merdeka sekolah – sekolah dibanjiri oleh anak – anak dari segala lapisan,mula- mula SD kemudian meluap ke Sekolah Menengah dan kini menggedor pintu universitas. Latar belakang dari siswa SMA MASEHI 2 PSAk adalah golongan menengah kebawah,karena tidak diterima di Sekolah Negeri dan siswa buangan atau pindahan dari Sekolah Negeri. Walaupun murid – murid beraspirasi masuk ke perguruan tinggi, namun dalam kenyataanya hanya sebagian kecil yang berhasil mewujudkan cita - citanya. Sebagian anak yang lulus dari SMA harus memasuki lapangan kerja. Maka kurikulum yang akademis sebagai persiapan untuk Perguruan Tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan banyak siswa. Itu sebabnya timbul usaha untuk menyesuaikan kurikulum dengan kehidupan di dalam masyarakat. Anak – anak perlu dipersiapkan agar hidup lebih efektif di masyarakat. Dituntut agar kurikulum relevan dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu usaha yang agak radikal adalah diciptakanya apa yang disebut community school. Walaupun sekolah kebanyakan mempertahankan kurikulum  subject centered kemungkinan mengadakan hubungan masyarakat sangat banyak , tetapi pada kenyataanya memang masyarakat dan institusi pendidikan sama – sama mendapatkan banyak keuntungan tanpa memperhatikan murid didiknya. Misalnya disekitar sekolah terdapat warung yang menjual rokok,sehingga usaha preventif yang dilakukan oleh sekolah rasanya sia – sia ketika seorang penjual lebih terbuka kepada siswa dari pada kepada pengajar yaitu seorang guru ataupun staff lainya. Dari siswanya juga cenderung memberontak dan sekali lagi karena sekolah yang termasuk pinggiran siswanya diberi banyak ruang untuk perilaku menyimpang layaknya kenakalan remaja. Jika dilihat dari pandangan matanya yang cekung,pandangan sayu dan tingkah sedikit ling – lung menandakan bahwa penyalah gunaan obat banyak dijumpai pada mayoritas siswa di SMA MASEHI 2 PSAK. Sikap masyarakat kota yang cenderung individualistis dalam rangka survival cenderung antipati terhadap apa yang seharusnya dilakukan untuk disekitarnya. Hal inilah yang menurut saya menjadikan banyak generasi muda Indonesia yang frustasi, karena menurut mereka perkawanan adalah segalanya.
F.      Simpulan dan saran
Dunia pendidikan saat ini masih jauh dari cita – cita UU SISDIKNAS. Problematika berada di pucuk pimpinan pemerintah dalam pengambilan keputusan sampai tingkat operasional di seluruh lapisan. Guru sebagai kunci proses pendidikan sebagian besarnya belum berperan sebagaimana mestinya sebagai guru bangsa karena berbagai masalah yang tak kun jung terselesaikan. Masyarakat tidak puas dengan berbagai kebijakan pendidikan. Dunia pendidikan penuh dengan masalah besar non-kependidikan. Bagaimana harus membenahi benang kusut ini ? mungkin nasihat dari ulama baik kita cermati. ‘ mulai dari yang kecil – kecil,mulai dari diri sendiri, dan ini saatnya’. Bukankah ini tugas kita semua ??











DAFTAR PUSTAKA

Moleong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bndung : PT.Remaja Rosdakarya
Subandijah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Cetakan II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996.
Anwar rofiq. 2011. Cita dan problematika pendidikan di Indonesia; Semarang : UNISSULA PRESS
Nasution. 1983. Sosiologi pendidikan; Bandung : Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar