Pages

Subscribe:

Ads 488x100px

PENDIDIKAN TANPA BATAS

Minggu, 27 November 2011

fenomena kapitalisme

Fenomena: Kapitalisme di Indonesia
Sebenarnya, saya kurang setuju bila Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara kapitalis seperti Amerika Serikat. Di Indonesia hampir semua orang, asal punya uang, bisa menjalankan bisnis. Di Amerika, belum tentu.
Di Amerika, yang punya modal besar akan menguasai pasar. Yang modalnya kecil meramaikan pasar. Kredit untuk bisnis bisa dikatakan accessible, tapi tidak mudah dan sangat selektif. Tidak semua orang bisa membuka bisnis. Peraturan perpajakan dan hukum bisnis yang ketat membuat wirausaha tidak semudah membuka warung kaki lima di Indonesia. Catat, menurut teman saya yang sudah 7 tahun menjadi peracik makanan buka puasa favorit Cinta Laura, Sushi, untuk start-up sebuah restoran sederhana dibutuhkan kira-kira $300ribu! Dengan uang sebesar itu kita hanya akan mendapat sewa tempat untuk beberapa bulan saja karena sebagian besar biaya akan dipakai untuk pengadaan peralatan restoran, perizinan dan sertifikasi, persediaan bahan makanan, dan tentunya persiapan atau renovasi restoran. Kalau bisnis sepi, bisa-bisa modal hanya tersedot di tagihan listrik dan biaya sewa yang rata-rata $5,000 di daerah Washington DC.
Pengalaman kerasnya alam bisnis di Amerika dialami teman saya beberapa bulan lalu. Teman saya yang mencoba berbisnis itu mengalami kerugian sekitar $30ribu dalam waktu kurang dari 1 tahun.
Di Indonesia, hampir semua orang bisa membuka bisnis. Kredit usaha sebenarnya pun tidak begitu sulit. Jika bank tidak bersedia memberi pinjaman, kita bisa mencoba meminjam pada kerabat atau orang lain yang punya kelebihan modal. Regulasi pun belum seketat di Amerika. Menjual sesuatu tidak harus di toko. Teras rumah bisa disulap menjadi tempat jualan. Dari penuturan teman saya yang tahun lalu membuka usaha kuliner di Jakarta, ia hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp20-30juta. Bandingkan dengan $300ribu di Amerika.
Satu hal yang menjadi isu besar dalam berbisnis di Amerika adalah pajak. Tingkat pajak yang tinggi, mencapai kisaran 30%, mengakibatkan pemerintah harus memberi insentif khusus bagi wirausahawan. Di Indonesia, pebisnis kecil tak perlu terlalu khawatir untuk meminta insentif khusus, atau tepatnya tak usah khawatir dengan pajak. Siapa yang akan menghitung pajak yang mesti dibayar warung nasi bungkus di setiap ruas jalan di Jogja? Siapa juga yang tahu penghasilan tiap malam warung-warung tenda dan kafe-kafe yang selalu ramai anak muda? Tetangga saya di Indonesia, dalam beberapa tahun berjualan nasi bungkus sudah mampu membeli sepeda motor Honda keluaran paling anyar.
Bisnis apapun ada di Indonesia. Mau counter pulsa HP, warung tenda, penjual kacamata hitam di pinggir jalan, penjual kelinci, panti pijat, tukang cat freelance, bengkel motor dan tambal ban 24-hour, tukang pangkas rambut Madura…you name it, we have it. Bisnis-bisnis yang di Amerika butuh license bisa dijalankan dengan mudah di Indonesia. Bahkan tukang potong rambut pun perlu lisensi khusus di Amerika. Tanpa lisensi khusus potong rambut, seseorang yang memotong rambut secara komersil bisa didenda yang besarnya mungkin lebih dari yang ia dapat dari memotong rambut selama 3 bulan.
Bicara soal modal, Indonesia lebih fleksibel. Atmosfer kapitalisme dimana yang bermodal besar menguasai pasar sangat terlihat di Amerika. Tapi di Indonesia, siapa yg mau bekerja keras, dialah yg bakal menguasai pasar. Di Amerika, posisi Wal-Mart sangat mengancam toko-toko eceran kecil. Di Indonesia, Carrefour dan Giant belum sampai pada posisi itu. Kalaupun di Jakarta sudah mulai terasa, di daerah masih banyak peluang. Minimarket dan supermarket lokal masih mempunyai peran strategis. Minimarket Mirota dan Putera Kampus adalah contoh toko-toko lokal yang berbagi market share cukup besar di Jogja.
Warung-warung tenda di Indonesia bisa mendatangkan ratusan ribu rupiah semalam hanya dengan bermodal 2 buah kompor, beberapa alat penggorengan, beberapa lembar tikar, dan sebuah tenda. Di Amerika, tak peduli apa jenis makanan yang dijual, setiap rumah makan harus mempunyai seperangkat alat masak yang sudah mendapat izin berdasarkan regulasi pemerintah. Ditambah lagi inspeksi acak yang dilakukan untuk memastikan restoran-restoran ini memenuhi standar kesehatan. Di Indonesia, siapa yang menginspeksi restoran Ayam Goreng Mbok Berek atau Soto Pak Sadi? Mungkin saya yang menginspeksi apakah rasanya masih mantap.
Di tingkat bawah menjamurnya kafe, warung tenda, warnet, rental VCD-DVD merupakan gambaran nyata kapitalisme di Indonesia. Belum ketatnya regulasi bisnis di negeri ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai momen naiknya peran wirausahawan sebagai pemain utama ekonomi bangsa. Sebagaimana misi Wirausahawan Muda Mandiri yang dicetuskan Bank Mandiri untuk meningkatkan jumlah wirausahawan di Indonesia dimana Dian Sastro ikut menjadi dutanya.
Punya modal sedikit bukanlah halangan untuk berbisnis di Indonesia. Pernah terpikir untuk membuka warung kaki lima? Kenapa tidak? Gengsi? Kalau akhirnya bisa menjadi sumber penghasilan yang melebihi pekerjaan karyawan berdasi kenapa mesti malu?
Pernah makan roti bakar yang gerobaknya bertuliskan “Roti Bakar Khas Bandung”, kan? Dengan logo tulisannya yang melengkung dengan ukuran huruf dan kemiringan yang sama di setiap gerobak di seluruh Indonesia, bisnis ini bisa menjadi sesuatu yang menggiurkan. Saya pernah bertanya pada seorang penjual Roti Bakar Khas Bandung tentang berapa banyak rata-rata roti yang terjual setiap malam. Si bapak penjual mengatakan bahwa rata-rata rendahnya kalau tidak begitu ramai bisa mencapai 50 roti per malam. Harga per roti bakar berkisar Rp 4.000-8.000. Ambil saja Rp 5.000 sebagai rata-rata nilai penjualan tiap roti, kalikan 50 buah. Hasilnya = Rp 250.000 per malam = Rp 7,5 juta per bulan! Memang itu masih pendapatan kotor. Ambil lagi skenario umum dimana pada bisnis makanan biasanya 20%-40% pendapatan kotor adalah profit (angka ini rata-rata profit restoran di Amerika, untuk bisnis roti bakar di Indonesia ini angkanya mungkin berbeda). Dengan perhitungan kasar ini (ambil saja 30%), pendapatan bersih perbulan = Rp 2,25 juta. Ini masih bisa naik dan juga bisa turun. Bukankan hal ini sesuatu yang worth trying?
Tak ada waktu untuk membolak-balik roti di atas wajan semalaman? Beli saja gerobaknya beberapa buah, stok roti dan aneka rasanya, lalu bayar orang lain untuk menjualnya. Pasive income yang turut membuka lapangan kerja.
Kita pasti bisa mengambil manfaat dari sebuah kedaan. Dengan kondisi perekonomian dan regulasi bisnis di Indonesia sekarang, usaha-usaha bisnis seperti ini justru bisa menjadi pilihan dan menjadi penggerak utama perekonomian. Belum lagi jika kita bisa memanfaatkan sikap konsumerisme masyarakat kita di segmen bawah. Karena di tingkat inilah masyarakat berinteraksi setiap harinya dan di sinilah uang mereka berputar.
Kapitalisme tak perlu menjadi monster mengerikan bagi sebuah perekonomian. Tak perlu konglomerat mengusai pasar dengan monopoli. Karena hakekatnya adalah siapapun yang mempunyai modal bisa menjalankan bisnis.
The bottom line: Banyak peluang bisnis skala kecil di Indonesia. Resiko kerugiannya pun tidak begitu besar. Kapitalisme di Indonesia = Peluang Bisnis yang Menggiurkan. Siap mencoba?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar