Ahli serta lembaga ekonomi Barat mendesak China dan India untuk meningkatkan konsumsi.
Senin, 12 Desember 2011, 11:03 WIB
Bonardo Maulana Wahono
VIVAnews - Pada tahun 2050, penduduk Asia diperkirakan mencapai lima miliar orang. Sementara itu, sumbangan Uni Eropa terhadap populasi dunia akan menurun dari 9% menjadi 5%. Pertumbuhan ekonomi rata-rata di Asia selama lebih dari 30 tahun terakhir menyentuh angka 5% per tahun.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) benua itu diramalkan akan meningkat menjadi US$230 triliun pada tahun yang sama, jauh berlipat ketimbang jumlah hari ini sekitar US$30 triliun. Abad ke-21 menyaksikan berpindahnya kekuatan - dalam hal sosial, ekonomi, dan politik - dari barat ke timur.
Kecemasan Barat atas menyembulnya "abad Asia" sebagian bermula dari situasi geopolitik abad ke-21 ketika Barat mendominasi bangsa-bangsa yang kurang berkembang. Namun, dinamika itu kini usang. Asia akan sama menderitanya dengan Barat dalam upayanya menyaingi kekuasaan Inggris dan Amerika pada abad ke-19 dan 20.
Seiring dengan tumbuhnya ekonomi Asia, tingkat konsumsi di wilayah itu juga naik. Perusahaan multinasional dan negara-negara Barat - keduanya diuntungkan dari melonjaknya tingkat konsumsi itu - mendorong Asia untuk mendambakan standar hidup Barat: pemakaian energi yang berlebihan, mainan elektronik, dan makanan serba daging.
Pemerintah negara-negara Asia agaknya mengamini pendekatan satu-dimensi bagi pertumbuhan ini. Mereka juga siap menjadi lokomotif pertumbuhan global. Namun, bangsa Asia tak punya hasrat mengkonsumsi seperti layaknya bangsa Barat. Pun tak mungkin melakukannya. Pemerintah negara-negara Asia mesti menghadapi kenyataan ini.
Di abad-abad sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Barat ditandai dengan dimungkinkanya akses bagi minoritas dalam pemanfaatan sumber daya. Upaya itu disangga oleh konsumsi. Hal itu jelas gagasan dasar kolonialisme. Mendapatkan sumber daya murah, atau bahkan gratis, adalah keniscayaan.
Namun, tentu saja bumi takkan mampu menopang lima miliar penduduk Asia yang mengonsumsi segalanya bagai Barat. Kapasitas planet ini dalam memperbarui dirinya telah lewat lebih dari 30 tahun lalu. Kita kini memakai 30 persen lebih banyak sumber daya dari yang planet ini bisa berikan. Meski kita tahu penyebabnya adalah hal demikian, lebih banyak lagi ahli serta lembaga ekonomi Barat mendesak China dan India untuk meningkatkan konsumsi.
Pemerintah negara-negara Asia harus menolaknya, meski mustahil. Sudah saatnya Barat terus melakukan akal-akalan. Mereka harus mengakui betapa mustahil memenuhi permintaan konsumsi Asia tanpa harus mengorbankan iklim bumi dan sumber daya alam. Hubungan dagang tak jauh lebih penting tinimbang mengupayakan dialog antara Barat dan Asia mengenai masalah hidup dengan batasan.
Sebagai misal, para pemimpin di Barat yang punya kepedulian terhadap perubahan iklim harus memahami bahwa instrumen ekonomi seperti perdagangan emisi tak bisa menjadi obat.
Bagi Asia, pengelolaan sumber daya alam harus ditempatkan di tengah-tengah penyiapan kebijakan. Jika tidak, keterbatasan sumber daya akan menekan harga komoditas dan memicu krisis di segala sektor seperti pangan, air, perikanan, kehutanan, pemanfaatan lahan, dan perumahan. Ujung-ujungnya, ketimpangan sosial kian memuncak.
Barat mesti menuntun Asia untuk beralih dari gagasan bahwa pertumbuhan yang ditopang oleh konsumsi bukanlah satu-satunya jawaban. Asia harus mengadopsi tiga prinsip dasar demi mencegah krisis sosial dan lingkungan.
Pertama, aktivitas ekonomi harus menjadi hal sekunder setelah pemeliharaan sumber daya. Kedua, pemerintah negara-negara Asia harus mengambil tindakan untuk menghargai ulang sumber dayanya dan memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas.
Ketiga, negara-negara Asia harus merekonstruksi peranan uatamanya sebagai pembela kesejahteraan kolektif dengan cara memberi perlindungan kepada sumber daya alam dan lingkungan.
Semua hal di atas menyiratkan bahwa pemerintah negara-negara Asia butuh memainkan peranan lebih besar daripada para pejabat tinggi pemerintah di Eropa dan Amerika dalam mengelola pilihan-pilihan di bidang makroekonomi dan konsumsi pribadi. Pembela hak-hak pribadi dan kepentingan usaha sepertinya akan melangsungkan protes jika tidak diakomodasi.
Pemerintah negara-negara Asia kadang akan harus membuat batasan-batasan ketat atas pemakaian sumber daya. Mereka harus mencoba menekankan, misalnya, bahwa kepemilikan kendaraan bukanlah hak asasi manusia. Argumen tentang adanya hak-hak mesti menekankan adanya batasan-batasan bukan definisi utopis yang dibuat para politikus Eropa.
Pilihan kebijakan-kebijakan ini luruh di hadapan ortodoksi demokrasi-liberal Barat. Namun, para pembuat kebijakan seharusnya tidak bereaksi negatif atas beberapa pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah negara-negara Asia, atau bahkan melabeli mereka sebagai anti-kapitalis dan anti-demokrasi.
Barat mesti sadar bahwa sistem ekonominya, yang disokong oleh konsumsi, telah menghabiskan sumber daya alam. Bagi banyak negara Asia, sistem itu bukanlah pilihan layak sebab pemerintahnya harus mengusahakan metode politik berbeda untuk memungkinkan masyarakat yang adil.
4 komentar:
sip deh membuat wawasan lebih luas
sosiologi ekonomi kie
semoga menjadi pelecut bangsa Indonesia kearah kemajuan.
ampunnn....bahasannya beras bot....
Posting Komentar